Sejarah kritik sastra (umum)
Istilah kritik sastra telah dikenal sejak sekitar tahun 500 SM.
Kritik sastra pertama kali dilakukan oleh bangsa Yunani yang bernama Xenophanes dan Herackitus yang mengecam seorang pujangga bernama Homerus. Berawal dari situlah, Kritik sastra mulai berkembang menjadi suatu kegiatan kesastraan yang mendapat tempat tersendiri di tengah masyarakat, tempat yang tidak dapat dipisahkan dari penduduk dan segala persoalan kehidupan. Sejak saat itu pula Kritik sastra mulai merambah ke dunia kesastraan Nusantara di Indonesia.
Sejarah perkembangan kritik sastra di Indonesia
Di Indonesia, Kritik sastra baru dikenal setelah budayawan dan sastrawan kita mengenyam pendidikan di Barat. Pendidikan Barat membuka mata para sastrawan dan budayawan umumnya, bahwa sastra tidak harus sepenuhnya dikaitkan dengan dunia keagamaan, dan sastra tidak akan kehilangan hakikatnya walaupun dilepaskan dari norma keagamaan. Sebelum itu, penilaian atas karya sastra hanyalah sebatas hubungan dengan kepercayaan, agama, dan mistik.
Seiring dengan kesadaran para sastrawan dan budayawan itu, orang mulai memikirkan tentang hakikat sastra serta bagaimana menemukan dan mencari nilai sastra. Ini juga menimbulkan minat dalam membaca dan mempelajari tentang permasalahan esei dan kritik sastra yang berkembang pesat di negara lain. Pada saat itu juga, dunia kritik mulai muncul di Indonesia.
Pada awalnya, istilah kritik kurang disukai, namun pengertian tentang kritik tampaknya berkembang dengan baik. Karangan-karangan yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru memberikan bukti bahwa kritik sastra pada waktu itu telah mendapat tempat yang baik di kalangan para sastrawan. Diantaranya terdapat tulisan-tulisan kritik sastra yang ditulis oleh J.E. Tatengkeng, dengan judul Penyelidikan dan pengakuan. Serta karangan-karangan Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Panr, serta kelompok sastrawan dan pujangga baru di masa itu.
Tidak ada catatan yang dapat menjelaskan siapa yang mula-mula menggunakan istilah kritik dalam dunia kesastraan di Indonesia. Yang jelas, H.B. Jassin telah menerbitkan buku kritik dan esei dengan judul Kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan Essey (1954). Bukunya ini berkembang terus hingga mencapai empat jilid,dengan judul yang disesuaikan dengan poly ejaan baru, sehingga judulnya menjadi: Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei.
Di samping itu, buku-buku H.B Jassin juga muncul. H.B. Jassin dengan kesungguhan dan ketekunannya, merupakan seorang dokumentator Kesusastraan Indonesia yang memiliki perpustakaan yang lengkap.
Buku tentang kritik sastra yang lain yang patut disebut lebih awal adalah Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw, seorang mahaguru di Universitas Leiden, Belanda.
Tidak ada catatan yang dapat menjelaskan siapa yang mula-mula menggunakan istilah kritik dalam dunia kesastraan di Indonesia. Yang jelas, H.B. Jassin telah menerbitkan buku kritik dan esei dengan judul Kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan Essey (1954). Bukunya ini berkembang terus hingga mencapai empat jilid,dengan judul yang disesuaikan dengan poly ejaan baru, sehingga judulnya menjadi: Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei.
Di samping itu, buku-buku H.B Jassin juga muncul. H.B. Jassin dengan kesungguhan dan ketekunannya, merupakan seorang dokumentator Kesusastraan Indonesia yang memiliki perpustakaan yang lengkap.
Buku tentang kritik sastra yang lain yang patut disebut lebih awal adalah Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw, seorang mahaguru di Universitas Leiden, Belanda.
Setelah itu, muncullah kritik sastra yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh lebih muda yang sebagian besar adalah murid H.B. Jassin. Antara lain Boen S. Oemaryati, J.U. Nasution, dan M.S. Hutagalung. Dari kalangan sastrawan atau pengarang pun bermunculan karya-karya kritik sastra, nama-nama mereka antara lain Gunawan Muhamad, Arief Budiman, Asrul Sani, Sapardi Djoko Darmono, Sitor Situmorang, dan Ajip Rosidi.
Tulisan tentang kritik sastra juga mulai meluas pada media massa seperti majalah sastra dan surat kabar. Majalah sastra dan budaya yang memuat Kritik sastra adalah Mimbar Indonesia, Siasat, Indonesia Budaya, Basis, Budaya Jaya, dan Horison. Sedangkan surat kabar yang memuat Kritik sastra adalah Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Merdeka, dan Suara Karya.
Dalam Sejarah kritik sastra di Indonesia pernah tumbuh beberapa perbincangan tentang berbagai masalah, antara lain sebagai berikut :
* Masalah seni untuk seni atau seni untuk masyarakat, yang berkembang dari 1936 sampai 1966,
* Masalah Orientasi ke Barat atau ke Timur, yang dimulai oleh kelompok pujangga baru sekitar 1933 dan masih berkembang sampai 1963.
* Masalah keuniversalan atau kenasionalan (sekitar tahun 50-an)
* Perdebatan antara satu generasi angkatan dengan angkatan sebelumnya, misalnya antara Chairil Anwar dan Asrul Sani dengan tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru.
* Tentang realisme sosialis versus "Surat kepercayaan Gelanggang".
* Perdebatan tentang ada tidaknya angkatan setelah angkatan 45.
* Perdebatan tentang ada tidaknya Krisis dalam Kesusastraan Indonesia
* Polemik mengenai metode kritik, khususnya tentang kritik Analitik versus Ganzheit di ujung tahun 60-an
* Masalah seni untuk seni atau seni untuk masyarakat, yang berkembang dari 1936 sampai 1966,
* Masalah Orientasi ke Barat atau ke Timur, yang dimulai oleh kelompok pujangga baru sekitar 1933 dan masih berkembang sampai 1963.
* Masalah keuniversalan atau kenasionalan (sekitar tahun 50-an)
* Perdebatan antara satu generasi angkatan dengan angkatan sebelumnya, misalnya antara Chairil Anwar dan Asrul Sani dengan tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru.
* Tentang realisme sosialis versus "Surat kepercayaan Gelanggang".
* Perdebatan tentang ada tidaknya angkatan setelah angkatan 45.
* Perdebatan tentang ada tidaknya Krisis dalam Kesusastraan Indonesia
* Polemik mengenai metode kritik, khususnya tentang kritik Analitik versus Ganzheit di ujung tahun 60-an
Setelah itu tidak ada lagi yang bisa disebutkan, tapi itu bukan berarti tidak ada kegiatan tentang Ktitik sastra, kegiatan tentang kritik sastra tetap dapat kita jumpai di berbagai majalah dan surat kabar.
Memang tidak bisa dipungkiri, tidak adanya polemik tidak menyusutkan kegiatan untuk berkarya. Cerita-cerita pendek terus ditulis, untuk majalah Horison atau surat kabar harian seperti Kompas dan Sinar Harapan. Belakangan juga muncul kumpulan cerita pendek, puisi, esei dan novel melalui penerbit Pustaka Jaya.
Memang tidak bisa dipungkiri, tidak adanya polemik tidak menyusutkan kegiatan untuk berkarya. Cerita-cerita pendek terus ditulis, untuk majalah Horison atau surat kabar harian seperti Kompas dan Sinar Harapan. Belakangan juga muncul kumpulan cerita pendek, puisi, esei dan novel melalui penerbit Pustaka Jaya.
Salah seorang penganut sastra terkemuka di Indonesia, Prof. Dr. A. Teeuw pernah mengemukakan tentang situasi dan masalah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia yang kurang memuaskan. Faktor-faktor yang menyebabkan keadaan ini antara lain sebagai berikut:
* Kekurangan Majalah sastra (tetapi ini tentang akibat, bukan sebab masalahnya)
* Kritik sastra sebagai kritik kewartawanan, yaitu kritik melalui surat kabar. Sebenarnya hal ini ada baiknya, yaitu dapat memancing minat yang luas. Tetapi ada juga hal buruknya, yaitu mengakibatkan kedangkalan, menekankan aspek pribadi pengarang bukan karyanya, menonjolkan heboh sastra, dan sensasi.
* Kekurangan pendidikan sastra, baik di tingkat universitas maupun di tingkat sekolah menengah
* Anggapan yang tersebar luas seakan-akan sastra hanya permainan saja, tidak perlu diminati secara sungguh-sungguh. Anggapan ini juga sering diperkuat atau bahkan ditimbulkan oleh sikap dan cara bekerja sastrawan sendiri.
* Kekurangan kebiasaan membaca dan pebilaian rendah terhadap buku dan majalah sastra.
* Kekurangan terjemahan karya sastra dunia yang bermutu tinggi ke dalam bahasa Indonesia.
* Kekurangan kemampuan bahasa asing ( bahasa inggris ) dan kesukaran membeli buku sastra yang penting dalam bahasa inggris.
* Kekurangan Majalah sastra (tetapi ini tentang akibat, bukan sebab masalahnya)
* Kritik sastra sebagai kritik kewartawanan, yaitu kritik melalui surat kabar. Sebenarnya hal ini ada baiknya, yaitu dapat memancing minat yang luas. Tetapi ada juga hal buruknya, yaitu mengakibatkan kedangkalan, menekankan aspek pribadi pengarang bukan karyanya, menonjolkan heboh sastra, dan sensasi.
* Kekurangan pendidikan sastra, baik di tingkat universitas maupun di tingkat sekolah menengah
* Anggapan yang tersebar luas seakan-akan sastra hanya permainan saja, tidak perlu diminati secara sungguh-sungguh. Anggapan ini juga sering diperkuat atau bahkan ditimbulkan oleh sikap dan cara bekerja sastrawan sendiri.
* Kekurangan kebiasaan membaca dan pebilaian rendah terhadap buku dan majalah sastra.
* Kekurangan terjemahan karya sastra dunia yang bermutu tinggi ke dalam bahasa Indonesia.
* Kekurangan kemampuan bahasa asing ( bahasa inggris ) dan kesukaran membeli buku sastra yang penting dalam bahasa inggris.
Setuju atau tidak terhadapnya, pendapat A. Teeuw tersebut patut direnungkan. Ketidakpuasan terhadap kritik sastra kita memang sering dilontarkan banyak orang, tetapi sebenarnya merupakan bagian dari keinginan orang untuk mendapat masa depan sastra yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar